11 April 2008

Di ATAS ATAU DI BAWAH ?

Beberapa waktu yang lalu saya dan kedua anak saya ke Yogyakarta. Kami sempat mampir ke sebuah Galery/studio. Ada seorang pematung yang membuat patung yang ditemani seorang Pria sebut saja Dedy. Saya memberanikan diri bertanya pada pematung :"Bung, patung yang anda buat ini apakah pesanan orang atau anda sedang membuat sebuah karya patung". Kemudian pematung itu menjawab katanya :"Patung yang saya buat ini adalah isterinya Bapak ini (maksudnya adalah Dedy). Dengan berguman "OOO..." terus saya melanjutkan melihat karya-karya seni yang dipajang rapi.

Ketika pematung itu sibuk bekerja membuat patung isterinya Dedy (sebut saja Siska). Dedy memperhatikan/menonton dengan asyiknya. Sebentar-sebentar Dia berkomentar, "Bung, buat rambutnya ikal! Bung, matanya yang bersinar! Alisnya jangan begitu! Bung, itu hidungnya sedikit pesek! Dan Bibirnya jangan terlalu tebal! Dadanya begini ............!Ah.............. kamu hanya merecoki saja. Kamu diam saja tanggung beres, "Ujar pematung sambil bekerja.

Tetapi DedY terus nerocos bicara. Akhirnya pematung hilang kesabarannya dan berkata, "sudah, kamu tidur saja!"Benar, Dedy tidur nyenyak ketika patung isterinya dibuat. Setelah jadi patung dibuat, dedy dibangunkan dan dia sangat kecewa, bahwa dia mendapati patung isterinya jauh dari seperti yang diinginkan. Ini hanya sebuah cerita, namun dari cerita ini semoga dapat menjadi gambaran buat kita. Kebanyakan kita kaum pria memandang perempuan adalah sosok manusia yang kurang, lemah, tak berdaya, terutama kedudukannya senantiasa kita remehkan bahkan cenderung melecehkan. Padahal budaya abad ini persamaan derajat pria dan wanita dikedepankan. Pria lebih diutamakan kedudukannya dibandingkan wanita. Dalam kehidupan keluarga suami adalah kepala isteri. Kata kepala janganlah diartikan buruk. Menjadi kepala bukan bertindak sewenang-wenang dan melecehkan pihak lain. Apakah kepala di tubuh kita melecehkan tangan atau kaki? Menjadi kepala berarti mengkoordinasikan kegiatan. Lagi pula pada tubuh kita bukan hanya kepala yang penting, melainkan tiap anggota tubuh adalah penting. Kalau suami adalah kepala isteri maka isteri adalah leher dimana kepala itu bertumpu. Apa jadinya kepala tanpa leher. Ia akan kaku seperti patung.

Mungkin ada perempuan yang masih penasaran. Mengapa hanya suami disebut kepala? Mengapa bukan kedua-duanya, uaitu suami-isteri? Ah, yang betul saja; mana ada tubuh yang mempunyai dua kepala. Kita tidak usah terlalu curiga terhadap istilah kepala. Kepala berarti pemimpin dan koordinator. Dimana ada sekelompok orang disitu selalu ada pemimpin. Demikian juga dalam keluarga. Anak akan kehilangan arah dan pegangan jikalau tidak ada kepemimpinan. Kosongnya kepemimpinan itu dapat mengakibatkan desintegrasi keluarga. Yang penting kepemimpinan itu bersifat terbagi. sehingga pengambilan keputusan tak terletak satu orang. Suami-isteri, keduanya berbeda dan berbagi tugas untuk fungsi yang berlainan. Namun keduanya mempunyai nilai dan derajat yang sama. Mereka bukan atasan dan bawahan. Mereka adalah mitra. Didalam mengambil keputusan, mereka saling mengikut sertakan dan saling menghargai. Yang di atas tak menindas, yang di bawah tak terjajah.

Seperti puisi yang ditulis oleh Tagaste seorang berkebangsaan Aljazair tentang wanita sebagai berikut:

Perempuan diciptakan dari rusuk pria
Bukan dari kepalanya untuk menjadi atasan
Bukan pula dari kakinya untuk dijadikan alas.

Melainkan dari sisinya untuk menjadi mitra sederajat
Dekat dengan lengannya untuk dilindungi
Dan dekat di hatinya untuk dicintai.

1 comment:

Anonymous said...

Berdiskusi Di Atas atau Di bawah sangat menarik dan sempat menggelitik hati ini untuk menulis dan mengomentarinya, tulisan bang Edy sungguh bagus dan sarat akan suatu pesan yang tersirat didalamnya. Tulisan tersebut sebenarnya menurut aku tidak sekedar sebuah usaha untuk memahami perempuan itu sendiriatau bahkan laki-laki dalam hubungannya dengan keluarga, tetapi juga memahami bagaimana suatu masyarakat terorganisir. Perempuan tidak terlepas dari sistem sosial di mana mereka menjadi bagian , nilai-nilai yang melekat pada perempuan atau keperempuanan merupakan konstruksi sosial yang melibatkan berbagai kekuatan. Usaha memahami perempuan memang tidak mudah, untuk menghindari persoalan semacam ini kita harus benar-benar melihat pemahaman dari dua arah dari atas ( teoritisnya )dan dari bawah ( empirisnya ) sehingga suara-suara perempuan harus didengar dan direkam dalam usaha untuk memahami apa keinginginan perempuan. Kalau semua ini dapat kita lakukan tidak akan terjadi kisah tragis seperti yang dialami, MANOHARA, CICI PARAMIDA dan perempuan-perempuan lainnya korban KDRT. Semoga semua ini menjadi pembelajaran bagi kita semua....
Sucess tuk pak Edy ( beloved )