12 April 2008

DITINGGAL......

Kita hidup bukan untuk selama-lamanya. Cepat atau lambat, pada suatu hari nanti kita akan meninggal atau ditinggal. Mungkin kita perlu menyiapkan diri jika ditinggal oleh orang yang kita kasihi. Selama hidup berumah tangga, saya tidak ada pikiran bahwa isteriku akan dipanggil Tuhan disaat aku membutuhkan dia untuk mempersiapkan kedua anaku yang masing-masing sekolah di kelas 2 SMA dan SD kelas 6. Karena penyakit kanker yang dideritanya yang memisahkan aku dengan dia karena Tuhan punya rencana yang berbeda dengan apa yang menjadi keinginan dan harapanku. Ketika anak-anak, saya tinggal pergi tanpa pamit (pergi melayat ke Purworejo karena mertua teman sekerja meninggal dunia). Dia gelisah, mencari informasi keberadaan orangtuanya. Semestinya ayah sudah pulang dari kerja kok sekarang belum pulang? Apa yang terjadi dengan ayah? Ada apa ayah tak pulang? Kira-kira demikian kalau boleh digambarkan secara sekilas kegelisahan anak saya tersebut.
Demkian pula dapat dibayangkan bagaimana perasaan anak yang ditinggal oleh ayah atau ibunya padahal ia masih membutuhkan asuhannya. Ia mendadak menjadi yatim atau piatu. Bayangkan bagaimana perasaan seorang suami ditinggal isterinya meninggal (mungkin anda bisa saja berbendapat "nikah lagi?"). Padahal ketika dia masih hidup pernah saya katakan pada isteriku : "Bu, apa yang kita harus siapkan jika suatu saat Tuhan memanggil diantara kita?" Isteri saya berontak :"Apa yang bapak katakan itu? Orang kok tidak ada semangat hidup?". Tanpa sepengetahuan dia saya buat sebuah rencana untuk mempersiapkan isteriku jika Tuhan suatu saat memanggilku. Kuajak dia untuk membuat usaha Keripik tempe. Tidak berselang lama usaha keripik tempe dapat terwujud. Di awal memang berat untuk menjadi maju. Dengan belajar dari buku-buku,suport teman-teman serta bantuan finansial dan pemikiran saudara-saudara dan kakak-kakak iparku. Usaha itu dapat berkembang. Menurut pikiranku saat itu usaha ini dapat dia pakai sebagai usaha untuk menopang kebutuhan ekonomi keluarga sepeninggalku. Akan tetapi Tuhan berencana sebaliknya, bukannya Dia mengambil nyawaku tapi malah mengambil nyawa isteriku. Sepeninggal dia saya sangat bingung. Berbagai pikiran simpang siur kuhadapi. Apa yang harus kuperbuat? Bagaimana dengan urusan ini? Bagaimana dengan dengan urusan itu? Segala persoalan tiba-tiba bertumpuk. Beban pikiran terasa berat. Hal ini kurasakan betul. Berbulan-bulan saya stress berat. Mudah marah, tersinggungan, dan sebagainya. Kesadaran itu kembali pulih saat mengingat salah satu pesan dari sekian pesan yang dia sampaikan. "Suamiku, tolong hantarkan anak kita menjadi anak-anak yang sukses dan berbakti pada Tuhan! Aku sangat berterimakasih jika hal itu dapat kamu lakukan".
Terlepas dari apa yang menjadi maksud baik dalam kerangka mempersiapkan kehidupan keluarga ke depan. Kita perlu mempersiapkan segala sesuatunya itu. Apa yang kulakukan di atas adalah upaya untuk menyikapi resiko-resiko yang musti kita hadapi jika kondisi di atas terjadi. Dengan demikian paling tidak kita sudah menyiapkannya. Jika terjadi gejolak-gejolak yang muncul dapat dieleminir sedemikian rupa sehingga paling tidak kelangsungan hidup dapat terjaga seiiring dengan persiapan kita.

3 comments:

Anonymous said...

ceritanya sangat menyentuh.kata-katanya enak dan mundah diterima termasuk di kalangan anak-anak muda.good luck pak edi

Anonymous said...

saya sangat bangga memiliki guru seperti pak edi ,karena beliau sangat bijaksana dalam menanggapi suatu masalah, beliau sanagt menghargai isterinya dan selalu memikirkan anaknya. mf 3tav1

M30NKZ said...

pak saya pengin bisa buat blog yang bagus kyk bapak.,,ajarin ya...!!!

saya ank X TMM rezky munna saputra